
Purifikasi Keanggotan Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Manifestasi Keterwakilan Rakyat Dan Daerah
Ruh konstitusionil terbentuknya DPD pada hakikatnya bermuara pada gagasan yang lahir dari diskusi daerah yang dilaksanakan oleh BP PAH 1 MPR. Gagasan kuat terkait dengan idealisasi parlemen tersebut meliputi Pertama, awal pembentukan UUD NRI 1945 pada hakikatnya menginginkan agar MPR dapat mempersatukan kelompok yang adadalam masyarakat; Kedua, ingin diadopsinya konsep perwakilan 2 kamar dengan menekankan prinsip demokratis dimana wakil rakyat dipilih melalui pemilu; Ketiga, ingin melembagakan Utusan Daerah yang memiliki peran untuk mewujudkan aspirasi masyarakat daerah.[1]
Semangat otonomi daerah yang dibungkus dalam bingkai keterwakilan daerah melalui DPD telah memaksa institusi perwakilan daerah dapat membawa kepentingan daerah dalam tingkat nasional. Diskursus terkait perwakilan daerah tak sebatas membahas DPD sebagai institusi yang paripurna dalam menyampaikan aspirasi daerah melainkan terkait keanggotaan DPD yang wajib secara lahir bathin memenuhi aspek representasi daerah. Oleh karena itu, merupakan conditio sine qua non menempatkan syarat berdomisili di daerah setempat dan keluar dari keanggotan partai politik sebagai syarat anggota DPD demi menjamin adanya sikap afirmatif terhadap daerah serta mereduksi intervensi politik dalam pengambilan keputusan DPD.[2]
Namun hegemoni representasi daerah atas DPD berujung polemik pasca dihapusnya syarat kewajiban domisili dan non-partai politik yang tertuang dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008. Terkooptasinya dua syarat fundamental tersebut disinyalir telah mengkhianati semangat keterwakilan yang seharusnya diaplikasikan dalam keanggotaan DPD.[3]
Pertama, infiltrasi nomenklatur syarat domisili dari provinsi tersebut merupakan improper purposes pembuat undang-undang serta unconfirmity dengan konstitusionalitas narasi Pasal 22 C Ayat (1) UUD NRI 1945 “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”.[4] Sehingga secara tafsir gramatikal syarat “domisili di provinsi” adalah norma konstitusi yang implisit melekat dalam Pasal 22 C Ayat (1) UUD NRI 1945. Berdasarkan konfigurasi demikian Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 10/PUU-VI/2008 memutuskan bahwa Pasal 12 huruf C Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 yang berbunyi “bertempat tinggal diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” adalah conditionaly constitutional sepanjang dimaknai memuat aturan “syarat domisili provinsi”. Artinya original intent dari desain konstitusional DPD menghendaki syarat domisili dari setiap provinsi dalam pencalonan keanggotaan DPD tetap eksis.
Kedua, terkait dengan hilangnya syarat keanggotan non-partai politik dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017. Pasca hilangnya syarat tersebut seakan memberi ruang kepada calon DPD dapat berasal dari partai politik. Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan makna original intent dari frasa “perseorangan” pada Pasal 22 E Ayat (4) UUD NRI 1945. Hal demikian ditanggapi positif dalam putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik untuk mencalonkan sebagai anggota DPD.[5]
Putusan MK No. 10/PUU-VI/2008 dan putusan No. 30/PUU-XVI/2018 tersebut adalah milestone dalam upaya purifikasi keanggotaan DPD untuk mengembalikan syarat domisili dari provinsi serta melarang pengurus partai politik. Tepukan hangat layak diberikan terhadap Mahkamah Konstitusi yang konsisten memperbaiki parlemen ataupun penguatan kamar kedua DPD sudah berlangsung secara istiqomah. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi telah menjalankan kewajibanya sebagai the guardian of constitution atau menjaga norma asli konstitusi yakni UUD NRI 1945.[6] Adalah kewajiban Mahkamah konstitusi melaksanakan penjagaan terhadap marwah DPD sebagai territorial representatif sebagaimana amanat Pasal 22 C dan 22 E Ayat (4) UUD 1945.[7]
Sudah saatnya regulasi keanggotan DPD kembali dalam konfigurasi kehendak konstitusi, pasca direvisi Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD karena selama hampir 17 tahun sudah pemilihan calon anggota DPD adalah inkonstitusional. Maka, sudah seharusnya moral value yang terkandung dalam dua putusan Mahkamah Konsitusi tersebut diinsyafi secara paripurna oleh pembuat undang-undang bahwa kehendak framers of constitution ialah menetapkan syarat domisili dan melarang anggota maupun pengurus partai politik. Bahkan, sudah selayaknya anggota partai politik juga dilarang mencalonkan diri sebagai anggota DPD sebab anggota partai politik tidak jauh berbeda dengan pengurus partai politik karena memiliki keterikatan emosional yang sama dan kepatuhan yang sama pula berdasarkan AD/ART tiap-tiap partai politik.[8] Oleh karena itu harus ada syarat minimal empat tahun tidak aktif menjadi anggota/pengurus partai politik saat pencalonan DPD sebagai jaminan sikap afirmatif anggota DPD untuk bersikap independen di parlemen serta syarat domisili dari provinsi minimal tiga tahun berturut-turut sebelum pencalonan DPD atau pernah berdomisili selama 10 tahun setelah berusia 17 tahun sebagai jaminan anggota DPD betul-betul memahami secara komprehensif problematika kedaerahan pada provinsi yang diwakilinya.
Bentuk penguatan paling fundamental yakni dengan menambahkan fungsi legislasi DPD dapat mengesahkan rancangan undang-undang terkait otonomi daerah hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian pandangan utopis tentang DPD hanya sebatas anak tiri bicameral system dapat terjawabkan dan mengubah paradigma bahwa kehadiran DPD merupakan konsep prematur dari kamar kedua.
Kesimpulan
Secara historical conteks dibentuknya DPD atas adopsi konsep bikameral merupakan desain DPD sebagai territorial representative dalam struktur parlemen. Hal ini sebagai mekanisme double check dan penyeimbang atas dominasi kekuatan politik oleh DPR sebagai political representative. Oleh karenanya DPD secara desain konstitusional harus terbebas dari kepentingan partai politik baik anggota ataupun pengurus partai politik serta keanggotaan DPD wajib berasal dari domisili provinsi setempat. Sehingga bilamana dua syarat fundamental tersebut justru dihapuskan dari narasi atribusi undang-undang pemilihan umum maka sama halnya telah menggeser hakikat desain konstitusional dan original intent DPD. Atas legal memorandum tersebut maka sudah selayaknya Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 menolak keberadaan pengurus partai politik dalam keanggotaan DPD, bahkan sebagai langkah progresif diperlukan purifikasi syarat pencalonan DPD yakni mengembalikan syarat domisili dari provinsi minimal 3 tahun berturut-turut serta tidak menjadi anggota maupun pengurus partai politik minimal 4 tahun saat pencalonan.
Referensi:
[1] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/ PUU-XVI/ 2018, hlm. 17.
[2] Sri Soemantri Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramdham, 2003, Perihal Dewan Perwakilan daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan, dalam Janedjri M. Gaffar, Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI dan UNDP Jakarta, hlm. 32.
[3] Dua syarat yang sangat fundamental terkait pencalonan DPD tidak dimunculkan dalam undang-undang yang mengatur terkait pemilu setelah undang-undang No. 12 Tahun 2003. Implikasi dari tidak adanya aturan tersebut adalah tidak semua anggota DPD berasal dari domisili setiap provinsi dan banyak anggota serta pengurus partai politik yang ikut duduk di kursi DPD.
[4] Pasal 22 C Ayat (1) UUD NRI 1945
[5] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018
[6] Feri Amsari, 2011, Perubahan UUD: 1945 Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta:Rajawali Pers, hlm. 83.
[7] Adventus Toding, 2017, DPD dalam Struktur Parlemen Indonesia: Wacana Pemusnahan Versus Penguatan, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 2, hlm. 269.
[8] Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
(Tulisan Diajukan dalam Lomba Esai DPD 2020)