OPINI
Eksibisionis: Mental disorder yang tidak bisa dipidana?

Eksibisionis: Mental disorder yang tidak bisa dipidana?

Akhir-akhir ini publik diguncangkan dengan aksi teror eksibiosionis yang kerap beraksi di depan khalyak umum. Aksi para eksib tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat baik secara keamanan maupun dari segi psikologis masyarakat. Pasalnya kehadiran pelaku eksib tersebut memberikan gambaran secara umum bahwa lingkungan perkotaan dan maju belum tentu memberikan kenyamanan dan keamanan yang mutlak bagi masyarakat agar dapat beraktifitas sebagaimana mestinya.

Lantas bagaimana cara meciptakan lingkungan yang aman dari perilaku eksib tersebut, apakah perilaku eksib dapat dikenakan hukuman pidana? atau tidak bisa karena tergolong sebagai alasan penghapus pidana karena ada embel-embel gangguan mental?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita akan menelisik definisi terlebih dahulu mengenai perilaku eksibisionis, apakah termasuk kedalam gangguan mental (mental illness/ mental disorder) atau perilaku eksib tergolong sebagai alasan penghapus pidana karena pelaku tergolong sebagai orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya?

Mental Illness/mental disorder Menurut PSYCHIATRIC ASS’N dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (2009) menyatakan gangguan mental adalah sebagai berikut :

each of the mental disorders is conceptualized as a clinically significant behavioral or psychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that is associated with present distress (e.g., a painful symptom) or disability (i.e., impairment in one or more important areas of functioning) or with significantly increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of freedom. In addition, this syndrome or pattern must not be merely an expectable and culturally sanctioned response to a particular event . . . . Whatever its original cause, it must be considered a manifestation of a behavioral, psychological or biological dysfunction in the individual. Neither deviant behavior (e.g., political, religious, or sexual) nor conflicts that are primarily between the individual and society are mental disorders unless the deviance or conflict is a symptom of a dysfunction in the individual.”

Dalam pandangan tersebut sebenarnya gangguan mental merupakan sindrom psikologis yang membuat penderitanya mengalami disfungsi secara mental ditubuhnya, dapat berupa kehilangan fungsi kesehatan mental atau pikiran dan jiwa yang disebkan oleh faktor lingkungan. Lebih jauh lagi Foucault mengungkapkan bahwa dikarenakan adanya disfungsi kesadaran mental akhirnya penderita menolak untuk beradaptasi pada lingkungan dan menganggap bahwa yang dialaminya adalah hal yang benar (Michel Foucault: 1987: 33)

 Dalam Kasus Eksibisionis, seperti asal katanya exhibere/to expose adalah tindakan untuk memperlihatkan alat vitalnya kepada publik dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Menurut Breht Kahr perilaku Eksibisionis ini dapat tergolongkan sebagai penyakit mental yang dalam koridor penyimpangan seksual dan sebagai bentuk kriminalitas. Pada dasarnya setiap manusia memiliki tindakan yang berbeda-beda dalam mengungkapkan jati dirinya dalam hal seksualitas bahkan beberapa orang memiliki kecendrungan yang berbeda untuk mencapai kepuasaan seksualitas tersebut dengan cara yang beragam. Termasuk perilaku untuk memperlihatkan satu atau sebagian alat vital kepada publik merupakan beberapa cara untuk mencapai tingkat seksualitas yang diinginkan para eksibisioner.

Secara psikologis Eksibisionis dapat dikategorikan menjadi tiga permalasahan yaitu, sexual disfunctions, the pharaphilia (sexual deviations) dan gender identity disorders. Pada konteks sexual disfunction para eksibisioner kehilangn fungsi seksualnya secara fisik maupun psikologis. Beberapa contohnya adalah hyper sexual, erectile disorder (impoten). Selanjutnya pharapilia adalah kecenderungan untuk tertarik pada objek seksual yang menyimpang, seperti Necrophilia (objek mayat), sexual masochism, sexual sadism dan termasuk juga eksibisionis. Sedangkan pada aspek permasalahan ketiga adalah permasalahan yang dianggap serius, yaitu gender identity disorder atau kelainan identitas gender yang berujung pada transexualism dan tranvestism, semua lingkup permasalahan tersebut adalah bertujuan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan pribadi berupa kepuasaan seksual (Breht Kahr: 1997: 18).

Duduk perkara dari permasalahan gangguan seksualitas tersebut secara private tidak akan dipermasalahkan karena tidak mengganggu aktifitas orang lain, namun sebaliknya stigma negatif dan keamanan lingkungan sosial akan terganggu apabila penyimpangan tersebut masuk ke dalam ranah publik. Dalam ranah publik inilah negara harus bertindak responsif terhadap permasalahan keamanan dan kenyamanan publik atau istilah ini disebut sebagai dessert-disease jurisprudence. Stepehen J. Morse dalam tulisannya Mental disorder and Criminal Law (2011) memberikan benang merah yang jelas bahwa negara dalam hal menangani perkara mental health yang menjadi tolak ukur bahwa negara dapat memberikan hukuman adalah ketika perilaku menyimpang seperti eksibisionis merenggut hak-hak orang seperti keamanan dan kenyamanan sosial. Karena pada dasarnya kerap kali dengan dalih “penyakit” tindakan-tindakan penyimpangan seksualitas tersebut tidak dapat dipidana karena pertanggungjawaban pidananya tidak terpenuhi karena ada “gap” yang terjadi pada kesimpangsiuran hukum pidana terhadap metode pertanggungjawaban pidana. Lebih lanjut Morse mengemukakan bahwa sebelum adanya penentuan apa saja yang termasuk ke dalam hal yang bisa dipertanggungajawabkan, terlebih dahulu harus melihat pada aspek legal criteria yaitu kriteria yang ditentukan oleh semua aspek ilmu untuk menjawab legal questions.

Pada kasus eksibisionis, seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa perilaku eksib secara sengaja dilakukan untuk mendapatkan kepuasaan seksualnya. Dalam artian lain unsur kesengajaan tersebut merupakan tolak ukur yang penting dalam penjatuhan pidana. tolak ukur utama tersebut masuk kedalam alasan dipertanggungjawabkannya suatu tindakan pidana, karena pelaku eksib secara sadar dengan rasionalitasnya melakukan aksi tersebut untuk menguntungkan pribadinya.

            Bahkan apabila kita melihat pertanggungjawaban pidana di Indonesia pada pasal 44 ayat 1 KUHP disebut juga sebagai niet kan worden toegerekend atau sebagai tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah ketika apabila orang yang melakukan tindak pidana tersebut memiliki gebrekkide ontwikkelling zijner vertandelijke vermogens atau gangguan pada pola kemampuan dalam berfikir. Van Hatum menjelaskan bahwa gangguan terhadap cara berfikir tersebut harus diartikan sebagai gangguan secara biologis dan bukan karena faktor lingkung masyarakat. Seperti misalnya karena idiot atau ada gangguan saraf pada otak sehingga menyebabkan kurangnya pemahaman seseorang tersebut akan suatu permasalahan (Lamintang: 1997: 401). Sehingga perilaku eksib yang telah dijelaskan sebelumnya dikarenakan kesadaran dan untuk kepentingan pribadi tidak dapat di sandingkan sebagai alasan dihapusnya sebuah tindak pidana.

Sedangkan secara normatif di indonesia aturan terhadap eksibisionis tidak ditemukan secara eksplisit, namun secara umum dapat dimasukkan kedalam pasal 281 KUHP serta Pasal 36 Undang-undang No. 4 tahun 2008 tentang pornogrfi, yang dimana secaraa expressive verbis melarang perbuatan yang tidak senonoh dimuka umum. Pasal 281 KUHP termasuk ke dalam bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilan yang melarang pelanggaran terhadap norma susila yaitu “barangsiapa dengan sengaja di muka umum melanggar kesusilaan, diancam dengan pidana penjara 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Secara sistematis normatif juga pasal tersebut akan berkenaan dengan pasa; 36 Undang-Undang Pornografi yang berbunyi: “Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjunkan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, dipidana dengan pidana penjara”.

Maka dengan ketentuan secara psikologis dan hukum pidana sebenarnya dapat dihukum dan dikenakan pasal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, namun disisi lain pelaku eksibisionis ini tetaplah harus dituntun ke arah yang benar baik oleh masyarakat dan negara.